Skip to main content

Perkembangan Pelayanan Literatur

Allah, dalam Alkitab, adalah pribadi yang aktif dan berkomunikasi dengan manusia, menjalin hubungan harmonis sejak penciptaan. Melalui para nabi dan penulis, seperti Musa dan Barukh, Allah menyampaikan firman-Nya yang dituliskan untuk menjaga kemurnian dan menghindari penambahan atau pengurangan, memastikan bahwa pesan-Nya dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Pentingnya literatur yang terjaga dan dilestarikan ditekankan, dengan ajakan untuk umat berkontribusi dalam penyebaran pesan ilahi melalui tulisan dan menjelaskan makna firman Allah.

  • Allah yang aktif
  • komunikasi antara Allah dan manusia
  • literatur ilahi
  • media oral
  • penyampaian firman
  • penyalinan naskah
  • peran nabi sebagai juru bicara
  • Allah adalah pribadi yang aktif dan berkomunikasi dengan manusia, menjalin hubungan yang harmonis.
  • Firman Allah telah disampaikan secara lisan sebelum ditulis oleh nabi, mulai dengan Musa yang menuliskan wahyu dari Allah.
  • Sejarah pencatatan firman Allah diteruskan oleh nabi-nabi lain secara berurutan; semua menuliskannya di bawah pimpinan Roh Kudus.
  • Terdapat kemungkinan bahwa beberapa firman Allah tidak ditulis atau hilang, tetapi firman yang ditulis dianggap penting untuk generasi selanjutnya.
  • Pencatatan firman Allah dilakukan untuk menjaga kemurniannya dan menghindari penambahan atau pengurangan melalui tradisi lisan.
  • Penyalinan teks suci membantu melestarikan firman Allah dan meningkatkan keakuratan dokumen.
  • Penghargaan terhadap tulisan dan penjelasan firman Allah sangat penting untuk pemahaman, dan menjadi tanggung jawab setiap generasi.
  • Sejarah gereja melahirkan banyak penulis yang berkontribusi dalam menjelaskan dan mempertahankan iman, seperti Klement, Ignatius, dan Agustinus.
  • Kesadaran akan pentingnya menerjemahkan dan menyebarkan Alkitab ke dalam bahasa yang dipahami rakyat menjadi agenda penting dari gereja.
  • Seluruh umat, termasuk dari Indonesia, diharapkan berpartisipasi dalam pelayanan literatur untuk menjawab tantangan zaman dan kebutuhan will dan pemahaman masyarakat.
  • Menulis bukanlah hal yang mudah, tetapi dengan latihan dan ketekunan, setiap orang dapat menjadi penulis dan berkontribusi dalam penyebaran firman Allah.

Allah yang disaksikan oleh Alkitab adalah Allah yang berkenan menyatakan Diri-Nya. Di samping itu, Ia juga Allah yang aktif. Ia bukanlah Allah yang pasif [suatu kekuatan yang tidak berpribadi]. Karena Ia suatu pribadi, Ia 'perlu' komunikasi. Dalam komunikasi
itulah, Ia beraksi dan bereaksi.

Setelah manusia diciptakan, Allah berkenan menjadikan mereka mitra dalam mengelola alam semesta ini. Muncullah hubungan harmonis antara Allah dengan manusia. Di sana ada dialog, ada komunikasi. Sebelum manusia memberontak kepada Allah, manusia bisa berbicara secara langsung dengan Allah.

Sejarah terus berlangsung dan Tuhan Allah berkenan melibatkan Diri di dalamnya. Sementara itu Ia juga berbicara melalui sejarah. Selama ini firman yang Allah sampaikan kepada manusia, diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya, hanya melalui media oral (dari mulut ke mulut). Cara sedemikian ini berjalan terus selama beratus-ratus tahun, sampai pada zaman Musa. Mengapa tidak ditulis? Jelas waktu itu manusia belum (begitu) mengenal tulisan.

Literatur Ilahi yang Pertama

Ketika Musa dipilih oleh Tuhan Allah untuk menjadi seorang nabi (juru bicara) Allah, ia diperintahkan untuk menuliskan apa saja yang Allah pernah dan sedang firmankan. Firman yang pernah Allah sampaikan adalah semua firman yang selama itu disampaikan dari generasi ke generasi melalui media oral, yang Musa terima dari leluhurnya. Namun, bagaimanapun juga usaha ini tidak lepas dari pimpinan Roh Kudus. Jadi, Musa tidak hanya sekadar menuliskan (membukukan) suatu tradisi oral, apalagi mitos. Di samping itu, tidak mustahil bila Allah juga melengkapi bagian-bagian yang kurang dengan suatu penyingkapan (wahyu).

Kemudian apakah yang dimaksud dengan firman yang sedang Allah sampaikan? Tak lain yakni segala firman yang Musa terima sendiri melalui ilham Roh Kudus, termasuk kejadian-kejadian yang sedang berlangsung. Semua firman itu dengan saksama ditulis oleh Musa dengan media yang ada pada saat itu, baik papirus, lempengan tanah liat, kulit binatang yang sudah diolah dan diawetkan sedemikian rupa dan sebagainya. Jadilah kelima kitab Musa.

Kitab-kitab Selanjutnya

Zaman telah berganti, demikian pula dengan generasinya. Masa pelayanan Musa di bumi sudah berakhir. Apakah ini juga berarti akhir kehadiran Tuhan Allah melalui firman-Nya? Ternyata tidak demikian. Musa sebagai pemimpin besar umat Allah boleh surut, tetapi jauh sebelumnya Tuhan Allah telah menumbuhkan tunas baru sebagai penggantinya. Setelah zaman Musa kita mendengar nama Yosua, Gideon dan para hakim lainnya, Samuel, Daud, Yesaya, dan seterusnya. Semua telah Allah pilih sebagai 'juru bicara' untuk menyampaikan firman-Nya. Di samping itu, kita kenal nama Barukh, Lukas, Markus dan lain-lain. Mereka inilah yang dengan setia, di bawah bimbingan Roh Kudus, mencatat segala peristiwa dan tindakan Allah yang ada dalam sejarah itu.

Para nabi yang menerima wahyu dari Tuhan itu, kemudian menuliskannya pada suatu media tulis. Sama seperti Nabi Yeremia, ia memunyai seorang juru tulis yang bernama Barukh. Barukh inilah yang menulis segala firman yang diterima oleh sang nabi. Demikian juga dengan kisah kepahlawanan para hakim termasuk Gideon. Mereka tidak menulis riwayat mereka sendiri, tetapi ada orang lain yang digerakkan dan dibimbing oleh Roh Kudus, untuk menuliskan kisah kepahlawanan para hakim itu. Sudah barang tentu semuanya itu tak lepas dari campur tangan Allah di dalamnya.

Literatur yang Hilang

Harus kita akui bahwa tidak semua firman yang pernah Allah sampaikan dan catatan sejarah tentang pekerjaan-Nya sampai ke tangan kita. Mengapa? Ada beberapa kemungkinan, yaitu:

  1. Tidak ditulis oleh umat-Nya.
  2. Sudah ditulis namun hilang.

Firman yang Tidak Ditulis

Dari semua firman yang pernah Allah sampaikan, baik untuk orang perorangan maupun kelompok, memang tidak semuanya ditulis oleh umat/nabi-Nya. Penyampaiannya cukup dengan media oral. Kenyataannya cara semacam ini masih sering dilakukan dan dianggap cukup, pada zaman para rasul (11 Tes. 2:15), bahkan sampai pada zaman modern ini. Maksudnya, banyak sekali kebenaran ilahi dan kisah karya Allah yang tak sempat dicatat/dibukukan. Semuanya itu cukup disebarkan hanya secara lisan, padahal sebenarnya laik untuk dicatat/dibukukan. Sayangnya, dari semua peristiwa itu hanya yang tercatat dan terpelihara dengan baik saja yang bisa dinikmati oleh sekian generasi berikutnya.

Memang bagaimanapun juga, tak mungkin manusia sanggup mencatat semua yang telah Allah kerjakan. Yohanes sang Penginjil pun mengakuinya. Lebih lanjut dalam tulisan Yohanes, secara tersirat terkandung makna, bahwa bila firman itu Allah inginkan untuk diketahui oleh generasi mendatang (orang lain), maka Dia akan 'mendesak' umat-Nya untuk menuliskannya (Yoh. 20:30, 31 dan 21:25). Namun di sisi lain Allah yang menghargai kehendak bebas manusia ciptaan-Nya itu, menunggu kerelaan manusia untuk menjadi 'alat-Nya', seperti Yohanes.

Naskah yang Hilang

Mengenai naskah yang hilang ini dapat kita baca dalam 11 Tawarikh 9:29 dan 12:15. Di sana dikatakan bahwa Nabi Natan dan Ido telah mencatat kisah hidup Raja Salomo dan Yerobeam. Namun sampai kini kita tak menemukan catatan sejarah itu.

Tetapi apakah itu berarti ada firman Allah yang musnah dan Ia tak sanggup memeliharanya? Sekali lagi dari kesaksian Yohanes di atas, kita ketahui bahwa firman yang ditulis itu hanya firman yang 'penting' (baca: yang Allah maksudkan untuk generasi yang akan datang). Lantas bagaimana cara Allah untuk memelihara firman-Nya itu? Yaitu dengan memerintahkan para hamba-Nya untuk menuliskannya.

Mengapa Harus Ditulis?

Demi kemurnian firman itu, Tuhan Allah merasa perlu memerintahkan manusia untuk menuliskannya. Inilah cara Allah untuk menjaga kemurniannya. Seandainya penyampaian firman itu hanya dengan cara lisan, sudah barang tentu bisa saja terjadi 'penambahan' atau 'pengurangan', baik secara sengaja maupun tidak, tanpa setahu generasi berikutnya. (Bandingkan dengan tradisi yang ada di negeri kita ini, yang tak sempat dibukukan. Pasti sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu sudah banyak berbeda dengan yang ada sekarang ini). Jadi, bila cara ini terus-menerus berlangsung, maka bagi beberapa generasi berikutnya, firman itu sudah tidak murni lagi. Bahkan bisa-bisa sudah bukan (mengandung) firman Tuhan lagi, sebaliknya hanya tradisi rekaan manusia. Lagi pula dengan tertulisnya segala firman itu, akan memudahkan pengkajian kebenarannya dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, cara sedemikian inilah cara yang paling tepat untuk waktu itu dan bahkan sampai sekarang ini. Katakanlah firman Allah yang tertulis itu merupakan dokumen yang menjadi tolok ukur untuk penyampaian firman secara lisan di masa generasi yang berikutnya. Tetapi apakah cukup sampai di situ? Tidak!

Mengenai Naskah Salinan

Allah ingin supaya firman-Nya lestari dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Untuk itu Ia berkenan memakai manusia untuk dijadikan mitra dalam menjaga kesuciannya. Sebab itu Ia menggerakkan hati sejumlah orang untuk menyalinnya.

Apa hubungan penyalinan dengan usaha pelestarian dokumen firman itu? Penyalinan ini memunyai banyak kegunaan. Pertama, bila naskah aslinya rusak/aus, maka sudah tersedia salinannya. Itu berarti dokumen firman yang sudah ada, tidak musnah begitu saja. Kedua, justru dengan pelipatgandaan melalui penyalinan, mutu keautentikannya dapat diuji.

Mungkin pernyataan ini masih kabur dan perlu penjelasan lebih lanjut. Memang pendokumenan firman dalam bentuk tulisan akan mencegah penambahan dan/atau pengurangan. Tetapi hal itu pun masih belum memadai, bila dokumen itu hanya ada satu saja, yakni naskah yang asli. Namun, dengan adanya banyak salinan maka bila terjadi tambahan/pengurangan, dengan mudah sekali kita bisa melacaknya. Setiap salinan yang berbeda dengan salinan lain umumnya, dapat kita ragukan keasliannya dan kita harus melacak keasliannya. Lebih lagi, dengan disalinnya naskah asli itu, maka makin tersebarlah firman itu ke seluruh penjuru bumi. Bukankah Allah mencintai semua bangsa di muka bumi ini? Perlu dicatat di sini bahwa berita pokok yang tercatat dalam Alkitab ini, adalah kasih setia Allah untuk menyelamatkan umat manusia melalui Yesus Kristus. Dan sesuai dengan rencana-Nya, melalui umat pilihan-Nya, berita ini dapat dinikmati semua umat.

Berita inilah yang Allah inginkan supaya dicatat dan disebarluaskan oleh manusia yang mau menghambakan dirinya kepada-Nya. Dalam kurun waktu yang sangat panjang, yakni kurang lebih seribu enam ratus tahun, Tuhan Allah telah menggerakkan hati tak kurang dari empat puluh orang untuk menuliskan segala firman-Nya. Hasilnya? Kini kita bisa menikmatinya sebagai Alkitab.

Perlunya Media Bantu untuk Menjelaskan Maknanya

Kini Alkitab sebagai firman Allah yang tertulis telah diberikan kepada kita. Namun, harus diakui bahwa masih banyak orang, baik Kristen apalagi yang non-Kristen, yang mengalami kesulitan untuk mengerti isi Alkitab. Petrus sendiri mengakui betapa sulitnya untuk bisa memahami tulisan-tulisan Paulus (11 Pet. 3:15-16).

Dalam kisah sida-sida Etiopia yang mengadakan perjalanan ke Yerusalem, ketika ia membaca kitab Nabi Yesaya, ia pun mengalami kesulitan untuk mengerti makna yang terkandung dalam kitab itu. Karenanya Tuhan mengutus Filipus untuk menjumpainya dan menerangkan maksudnya (Kis. 8:26-35). Demikian pula pada masa Perjanjian Lama, waktu Ezra membacakan kitab hukum (Taurat), maka ia didampingi oleh sejumlah orang untuk membantu menjelaskan arti dan makna firman itu (Ezr. 8:9).

Jadi, firman yang tertulis itu memang kadangkala masih harus dijelaskan dan diuraikan. Di sinilah salah satu fungsi nabi, bukan hanya sebagai penerima dan penyampai wahyu/firman yang "baru" saja, tetapi juga menjelaskan maksud/makna firman yang "sudah ada".

Tuhan Yesus pun melakukan hal yang serupa. Ia membacakan firman Allah, kemudian memberikan 'penjelasan' (Luk. 4:17-22). Penjelasan-penjelasan yang diberikan itu, memunyai beberapa tujuan. Pertama memang untuk menjelaskan firman itu, agar bisa dimengerti. Tetapi di samping itu, dimaksudkan pula untuk membuktikan kebenaran firman itu, dengan kesaksian-kesaksian yang ada.

Jadi, dalam upaya menjelaskan firman itu terkandung tujuan yang agung. Tuhan Allah ingin supaya firman-Nya bisa dimengerti oleh setiap orang. Hal ini bukan berarti bahwa tanpa penjelasan lebih lanjut, firman itu tak dapat dimengerti sama sekali. Tidak! Firman itu bisa dimengerti, tetapi jelas akan membutuhkan energi tambahan.

Pemikiran yang sedemikian ini sudah disadari bukan hanya oleh para 'nabi' dan 'rasul', tetapi juga oleh hamba-hamba Allah sesudah zaman para rasul (para bapa gereja). Mereka sadar bahwa upaya menjelaskan firman itu dalam konteks zaman mereka merupakan suatu panggilan yang agung. Pengejawantahan firman itu harus diupayakan sedemikian rupa, agar umat Allah (jemaat Am) bisa lebih memahaminya.

Berbekal kesadaran ini, para hamba Allah itu mulai menuangkan apa saja yang mereka ketahui dari Alkitab. Pemahaman isi Alkitab mulai dijabarkan dan dituangkan ke dalam berbagai literatur, dengan maksud agar umat yang lain bisa dengan (lebih) mudah mengertinya. Peristiwa-peristiwa yang erat kaitannya dengan firman itu atau menjadi saksi dan bukti kebenaran firman itu, dicatat dan dibukukan.

Hamba-hamba Lain yang Menanggapi Panggilan

Bila kita menyibak sejarah gereja pada zaman para bapa gereja sesudah para rasul, kita mengenal nama-nama seperti Klement, Athanasius, Ignatius, Polikarpus, dan lain-lain. Ketika mereka sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab iman seperti yang dituntut dalam 1 Petrus 3:15, maka tangan mereka tak bisa hanya bertopang dagu. Mereka sadar ada sesuatu yang harus dan bisa mereka lakukan, yakni menuangkan segala hikmat yang Tuhan sudah berikan kepada mereka melalui tulisan.

Mereka sadar bahwa tulisan memiliki dampak dan kekuatan yang luar biasa. Klement, martir yang mati di tangan Kaisar Domitianus itu, menulis sebuah surat (surat Klement). Dalam tulisannya itu ia menekankan perlunya kelangsungan pergantian jabatan kerasulan.

Ketika gereja Tuhan ada dalam ancaman bahaya ajaran Gnostisisme, Ignatius yang hidup pada masa itu merasa perlu menulis sesuatu untuk menangkis ajaran sesat ini. Demikian juga dengan Polikarpus. Dalam suratnya kepada jemaat Filipi, ia mengatakan bahwa Marcion adalah anak sulung Setan. Sudah barang tentu di dalamnya ia memberikan alasan. Sedang Tertualianus juga melalui tulisannya, berusaha sungguh-sungguh melawan Marcion dan Praxeus. Dia pula yang merumuskan ajaran-ajaran Tritunggal yang sudah tersirat dalam Alkitab. Selain mereka, sebenarnya masih banyak lagi umat Allah yang dengan kesadarannya rela mempersembahkan tenaga, waktu dan materinya untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan.

Abad kedua dan ketiga terlampaui, apakah ini berarti selesai tugas panggilan gereja untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada Juru Selamat? Ternyata tidak demikian. Tugas membangun rohani dalam tubuh Kristus belum selesai, 'panggilan' ini masih tetap bergaung.

Pada abad ke-IV muncullah Ambrosius, putra seorang gubernur di Gaul, dengan tulisan-tulisannya antara lain : "On Faith", "On the Holy Ghost" dan "On the Sacrament". Kemudian bangkit pula Agustinus dengan "Confessions" dan "The City of God"-nya.

Pada abad itu lahirlah sebuah kesadaran tentang perlunya Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa 'rakyat'. Dari situ bangkitlah Jerome dengan Vulgata-nya (terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin untuk pertama kalinya).

Pada abad pertengahan, kita kenal Bede, seorang rohaniwan yang hidup membiara sejak berusia 7 tahun dan hampir-hampir tak pernah beranjak dari Northumbria, kota kelahirannya. Ia menggali ilmu hanya dengan mengaduk-aduk buku-buku di perpustakaan biara. Dari sana terbitlah sebuah buku sejarah gereja di Inggris "Ecclesiastical History of England".

Ketika api reformasi menyala, pada abad XV-XVI, Luther berusaha keras untuk menuangkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Muncullah "95 Dalil", "Tafsir Surat Roma" dan "Tafsir Surat Galatia"-nya. Zwingli menulis "Concerning Freedom" and "Choice of Food". Calvin menyusun "Institutio"-nya. Begitu juga dengan John Knox, ia bersaksi tentang Kebangunan Rohani yang terjadi di Scotlandia. Kesaksian itu ia tulis dalam bukunya yang berjudul "History Reformation of Religion Within Realm of Scotland".

Pada abad XVII, terbitlah sebuah buku berjudul "Pilgrim Progress", karya John Bunyan. Buku ini sebenarnya lebih bersifat otobiografi, sekalipun sudah didramatisasi sedemikian rupa. Abad berikutnya terbit pula sebuah karya agung dari Matthew Henry, sebuah buku tafsir Alkitab yang dikenal dengan nama Matthew Henry Commentary. Hanya ini? Tidak! Sebenarnya masih banyak lagi karya-karya para abdi Allah yang telah menjadi berkat bagi umat-Nya.

Bagaimana dengan Anda?

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa di antara sekian banyak penulis yang ada, tidak semuanya menulis karya ilmiah atau teologi. Ada yang fiksi seperti John Bunyan, ada tafsir seperti Matthew Henry, ada kesaksian/sejarah seperti John Knox dan sebagainya. Ini berarti memberi peluang dan kesempatan bagi kita untuk mengembangkan talenta. Yang bertalenta menulis fiksi, karanglah fiksi yang menggiring dan mendekatkan insan kepada Juru Selamat. Yang mampu menafsir dan mendapat penyingkapan makna dan arti firman Allah, mintalah bimbingan Roh Kudus dan sampaikanlah pula dalam sebuah tulisan sehingga itu dapat dinikmati oleh umat Allah yang lain. Yang mengalami suatu kejadian yang menarik bersama Juru Selamat, bisa menuangkannya dalam bentuk tulisan kesaksian. Singkatnya Anda tak harus menulis yang bukan bidang Anda. Panggilan ini terus bergaung menunggu jawaban dan tanggapan dari kita.

Ya, gaung panggilan ini sebenarnya terdengar makin lama makin keras. Dengan demikian tugas dan panggilan gereja pun bukan semakin ringan, seiring dengan semakin dekatnya masa pengangkatan gereja Tuhan dan masa penghukuman si jahat.

Hal ini perlu disimak oleh gereja Tuhan. Gereja Tuhan harus selalu sadar bahwa mereka terpanggil untuk ikut mengambil bagian dalam rencana Allah ini.

Himbauan ini mengarah pada dua sisi sekaligus. Satu sisi untuk umat yang masih terlena agar tergugah, di sisi lain bagi yang sudah mengambil bagian dalam pelayanan ini, agar lebih giat dalam menunaikan tugas panggilannya.

Cobalah kita melongok ke dunia luar, dunia non-Kristen. Kita pasti akan terperangah, bila melihat betapa mereka sangat giat berpropaganda. Orang-orang komunis tak segan-segan mengeluarkan koceknya untuk membantu penerbitan buku-buku/traktat-traktat tentang komunisme. Para pengikut bidat pun tak enggan mempertaruhkan hartanya untuk usaha penyebarluasan ajaran/faham mereka. Ambil contoh, gerakan Saksi Yehuwa, Mormonisme, dan lain-lain.

Tentang penting dan efektifnya literatur ini, hampir semua orang di zaman modern mengakuinya. Bisa dimengerti bila Luther mengatakan bahwa mesin cetak merupakan 'karunia kedua' setelah keselamatan. Entah berapa puluh persen umat yang berhasil diperkenalkan kepada Juru Selamat, melalui media literatur. Yang jelas Alkitab yang kita miliki dan yang telah membimbing kita kepada Kristus, adalah sebuah literatur. Buku-buku tafsir yang sering kita baca untuk membantu mengetahui isi Alkitab juga merupakan literatur. Traktat-traktat yang dibagikan di persimpangan jalan pun sebuah literatur.

Memang pelayanan literatur di dunia Barat cukup maju. Artinya pelayanan semacam ini mendapat perhatian. Bukan hanya jumlahnya, tapi juga jenisnya. Bahkan banyak juga yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, cukupkah kita menerjemahkan dan menerima saja dari bangsa lain? Tidakkah akan lebih baik bila ada hamba Allah putra Indonesia, yang tentunya jauh lebih mengetahui situasi dan kondisi Indonesia, mau ikut serta mengambil bagian dalam pelayanan ini?

Kini kami mengajak Anda, untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Ada banyak hal yang dapat kita kerjakan. Anda bisa menjadi penulis.

Menjadi penulis? Mungkinkah itu? Lantas apa yang saya tulis? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak jarang muncul di benak kita. Itu wajar, baik bagi yang belum mencoba ataupun sudah mencoba namun belum berhasil. Memang menulis itu tak mudah, seperti yang digembar-gemborkan bagi yang sudah biasa. Namun, salah juga kalau kita katakan terlalu sulit. Ingatkah kita bahwa tak seekor burung pun yang begitu menetas langsung bisa terbang melanglang buana, menaklukkan angkasa. Tak seorang anak manusia pun yang begitu lahir langsung pandai berlari apalagi berenang, tapi mengapa kemudian mereka bisa? Tak lain karena mereka tekun berlatih. Ayo kita mencoba!

Diambil dan diringkas dari:

Judul artikel : Pelayanan Literatur
dari Masa ke Masa
Judul buku : Visi Pelayanan Literatur
Penulis : Antoni Stevens (Pimpinan Editor
Penerbit Buku Rohani Yayasan ANDI)
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta 1989
Halaman : 21 -- 32