Buku dan Kehidupan Anak | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Buku dan Kehidupan Anak


Kategori: Artikel

Presiden Suharto mencanangkan bulan Mei sebagai Bulan Buku Nasional 1995. Beliau mengajak para orang tua untuk menjadikan buku sebagai sahabat keluarga dalam rangka meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia yang dinilai masih rendah.

Tidak dapat dimungkiri bahwa minat baca harus dipupuk sejak masa kanak-kanak, dan menjadi tanggung jawab orang-tua dalam keluarga untuk memperkenalkan anak dengan kebiasaan membaca. Buku menjadi sarana bantu belajar. "Kedudukan buku sama pentingnya dengan posisi guru dalam proses belajar," ungkap Presiden Suharto. Itulah sebabnya, anak harus diperkenalkan dengan buku sedini mungkin.

Peran Buku

Buku menjadi fondasi yang kokoh bagi perkembangan mental dan spiritual seorang anak. Selain sebagai sumber ilmu pengetahuan, membaca menjadi bagian dari pembinaan watak dan kematangan berpikir. Pembinaan iman kristiani pun dapat dimulai sejak masa kanak-kanak. Melalui buku, anak diajar untuk memerhatikan segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta ini sebagai apresiasi terhadap ciptaan Allah.

Buku juga berfungsi sebagai salah satu sarana komunikasi. Semakin sering anak berkomunikasi dengan buku, semakin banyak pengertian dan pengetahuan yang dapat ditimbanya. Pengertian (persepsi) inilah yang sangat membantu dalam pembentukan kepribadian dan pola pikir seorang anak. Komunikasi anak dengan buku tidak dapat dihalang-halangi oleh siapa pun. Susan Curtis, seorang pakar linguistik dari sebuah universitas ternama di California, A.S., menyatakan bahwa komunikasi sangat esensial bagi pengembangan kepribadian manusia. Para ahli ilmu-ilmu sosial berulang kali mengemukakan, ketidakmampuan untuk berkominikasi dengan baik (terutama dalam keluarga), menjadi penghambat perkembangan kepribadian dan pengalaman kesadaran manusia.

Membina Minat Baca Anak

Keluarga menjadi lingkungan pertama bagi seorang anak untuk berkenalan dengan buku. Peranan kedua orang tua sangat besar dalam menanamkan rasa cinta buku kepada anak-anaknya. Proses ini dapat dimulai sejak usia prasekolah. Bu Kasur, salah seorang tokoh pendidikan anak-anak, menjadi pencetus gagasan "dongeng sebelum tidur" di Indonesia. Konsep yang melibatkan interaksi orang tua - anak ini juga dianjurkan oleh ahli-ahli pendidikan Barat, yaitu dengan membacakan suatu cerita atau sebuah buku kepada anak setiap hari sebagai pengantar tidur. Dalam kaitannya dengan memperkenalkan anak kepada Kristus, dapat dibacakan cerita-cerita dari Alkitab, baik melalui buku-buku semacam "Cerita-cerita Alkitab Bergambar" maupun membacakannya langsung dari Alkitab. Kebiasaan membacakan cerita-cerita sebelum tidur ini selain mengandung aspek pendidikan, juga menjadi saat-saat yang berharga untuk menjalin hubungan emosional antara orang tua dengan anak-anak.

Bu Kasur juga menyarankan untuk menjadikan pemberian hadiah buku kepada anak-anak sebagai tradisi keluarga. Orang tua dapat menjadikan buku sebagai hadiah pengganti bunga, kue, atau pakaian pada hari Natal, hari ulang tahun, kenaikan kelas, atau pada kesempatan-kesempatan khusus lainnya. Jenis buku yang diberikan harus sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan intelektual anak. Selain itu, pengadaan ruang baca dan perpustakaan kecil di rumah juga dapat menjadi pendorong bagi anak-anak untuk gemar membaca. Pemanfaatan kedua sarana ini perlu diteladankan oleh ayah dan ibu mereka, atau dengan perkataan lain, ayah ibu yang gemar membaca menjadi teladan bagi anak-anaknya untuk menyukai buku.

Ketika anak memasuki usia sekolah, orang tua dapat mulai memperkenalkan cara-cara memperoleh buku, baik melalui kunjungan ke toko-toko buku, pameran-pameran buku seperti yang setiap tahun diadakan oleh IKAPI, bursa penjualan buku murah (loak/buku bekas), maupun ke perpustakaan umum. Kunjungan ke tempat-tempat penjualan buku tidak selalu berarti harus membeli, tetapi lebih ditekankan untuk mengenali jenis-jenis buku yang tersedia di luar lingkungan rumahnya. Apabila anak tertarik dengan salah satu judul buku, mungkin ia dapat diajar untuk menabung sebagian uang sakunya sampai akhirnya dapat membeli buku tersebut.

Anak menerima pendidikan membaca secara formal di sekolah. Selain melalui pengadaan sarana perpustakaan sekolah, kegemaran membaca dapat dirangsang, misalnya dengan mengadakan perlombaan menceritakan kembali apa yang telah dibacanya. Peran guru sangat besar dalam hal ini, yaitu dalam memilih jenis bacaan yang sesuai dan dalam memberikan penilaian serta dorongan.

Perpustakaan umum yang menyediakan pojok khusus anak-anak pun dapat dijadikan sarana rekreasi untuk orang tua dan anak. Biasanya seorang ibu yang tidak bekerja lebih banyak memunyai waktu luang dibanding dengan seorang ayah untuk melakukan kegiatan semacam ini. Dengan meminjam buku-buku di perpustakaan, anak diajar untuk lebih menghargai buku yang bukan miliknya, antara lain dengan menjaga kondisi buku tersebut agar tetap rapi dan laik baca. Selain itu, anak juga mulai belajar untuk berdisiplin dalam memanfaatkan waktu peminjaman buku-buku yaitu dengan menyediakan waktu baca selama tenggang waktu peminjaman dan mengembalikan buku tersebut sesuai jadwal peminjaman. Kebiasaan meminjam buku dari perpustakaan dapat meringankan beban ekonomi para orang tua yang penghasilannya pas-pasan sehingga tidak dapat menyediakan anggaran untuk pembelian buku sebagai sarana rekreasi. Sayangnya, keberadaan perpustakaan-perpustakaan umum yang memiliki koleksi buku bermutu dan lengkap semacam ini masih terbatas di kota-kota besar saja, serta umumnya didominasi oleh buku-buku berbahasa asing.

Buku versus TV

Yang sangat diperlukan dalam membaca buku, selain faktor ketersediaan buku itu sendiri, ialah waktu. Dengan berkembangnya teknologi komunikasi melalui media televisi, waktu untuk melakukan kegiatan serta interaksi antar anggota keluarga yang bermanfaat seperti membaca, sangatlah berkurang. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa TV menyala rata-rata selama 7 1/4 jam setiap harinva. Seorang dokter spesialis anak dan pakar peneliti dalam bidang perkembangan anak dari Universitas Harvard, Dr. Berry Brazelton, mengemukakan bahwa satu jam merupakan batas waktu menonton yang maksimal untuk anak-anak usia 5 sampai 6 tahun. Lebih dari satu jam, tayangan-tayangan televisi menjadi semacam racun yang mereduksi (mengurangi) kemampuan daya nalar dan kemampuan berpikir kritis dan ilmiah.

Sebaliknya dari tayangan-tayangan TV yang bersifat sepintas dan cepat berlalu, dengan membaca buku seorang anak ataupun orang dewasa didorong untuk menyediakan waktu untuk proses merenung, serta mempunyai jarak waktu yang memungkinkan untuk berpikir serta menentukan sikap setuju atau tidaknya terhadap materi yang dibacanya.

Jadi, sebenarnya, apa yang dapat kita lakukan dengan TV dalam kaitannya dengan merangsang minat baca anak? Yang pertama, ajaklah anak untuk memilih buku-buku secara teratur (misalnya seminggu sekali meminjamnya dari perpustakaan) serta menyediakan waktu khusus untuk membaca. Matikanlah pesawat TV selama waktu baca tersebut! Anak perlu dibiasakan untuk berkonsentrasi dengan bacaannya tanpa digoda oleh tayangan TV yang memiliki daya pikat lebih kuat. Duduklah bersama mereka dan pilihlah sebuah judul buku yang menarik atau koran hari itu untuk kita baca juga. Kegiatan seperti ini menanamkan kebiasaan untuk membaca secara teratur.

Yang kedua, TV dapat memberi manfaat yang positif juga untuk merangsang rasa ingin tahu anak. Dampingi dan perhatikanlah anak-anak Anda pada saat menonton TV. Apabila ada film atau jenis acara lain yang menjadi minat khusus anak, misalnya dari cerita-cerita klasik (dongeng, legenda) atau yang bersifat ilmiah, berusahalah untuk mendapatkan buku-buku yang berkaitan dengan tayangan tadi. Dengan demikian, anak diajak untuk mengkaji serta mempelajari lebih saksama tentang apa yang dilihatnya di layar kaca. Cara ini juga sedikit demi sedikit menumbuhkan kecintaan anak terhadap ilmu pengetahuan atau seni budaya.

Kesimpulan

Anjuran Presiden Suharto untuk menjadikan buku sebagai sahabat keluarga merupakan suatu gagasan yang sangat bermanfaat dalam upaya mencerdaskan bangsa Indonesia. Sebaiknya minat baca tidak hanya digalakkan dalam rangka Bulan Buku Nasional saja, melainkan menjadi suatu bagian dari kehidupan keluarga. Sadar membaca hendaknya diterapkan sebagai kebiasaan anak, sama seperti menanamkan kebiasaan mandi dua kali sehari dan menggosok gigi.

Sebuah keluarga yang terdiri atas orang tua dengan anak perempuan yang duduk di tingkat sarjana sebuah universitas, dua anak laki-laki yang masih dalam tingkat persiapan perguruan tinggi, serta seorang anak perempuan yang duduk di SMA, memberikan kesaksian sebagai berikut. "Bagi kami berdua, hal yang paling penting yang kami lakukan kepada anak-anak kami, selain memberitakan tentang Yesus Kristus ialah membaca buku bersama sebagai sebuah keluarga. Ketika keempat anak kami pulang ke rumah dari sekolah masing-masing (yang berlokasi di kota lain), mereka selalu berkata, 'Ayolah, kita membaca sesuatu bersama malam ini!'" Kebiasaan membaca bersama telah menjalin mereka menjadi satu unit keluarga yang akrab. Karena mereka biasa membicarakan bersama gagasan-gagasan yang mereka peroleh melalui bacaan-bacaan, jalur komunikasi mereka berjalan lancar dan percakapan merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi mereka.

Sumber:

  1. "Budaya Baca Masih Lemah", Pikiran Rakyat, 10 Mei 1995.
  2. "Budaya Membaca v.s. Budaya Menonton", Kompas, 9 Mei 1995.
  3. "Membutuhkan Kreativitas, Menjadikan Buku Sebagai Sahabat Keluarga", Tajuk Rencana, Kompas, 5 Mei 1995.
  4. Berbagai artikel dari Parents & Children (Wheaton, IL: Victor Books, 1987).

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama majalah : Kalam Hidup, No. 620
September 1995, tahun ke-65
Penulis : Lanny I. Utoyo
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1995
Halaman : 16 -- 19

Komentar