"NON" SEBAGAI AWALAN? NANTI DULU! | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

"NON" SEBAGAI AWALAN? NANTI DULU!


Kategori: Kiat-kiat

Nonaktif. Kata ini meruap kala seorang pejabat terkena kasus atau intrik politik. Misalnya kala Kapolri Bimantoro dinonaktifkan oleh Presiden Gus Dur pertengahan tahun 2001. Begitu juga ketika Syahril Sabirin tersandung kasus Bank Bali. Ia diminta nonaktif dari jabatannya. Kasus terbaru tentunya Akbar Tandjung.

Kali ini, kita akan meninjau penggunaan kata ´nonaktif´ tadi dari sudut bahasa dan sama sekali mengabaikan interferensi apa pun yang tidak ada kaitannya dengan kebahasaan.

Pemakaian kata ´nonaktif´ sudah marak sebelum kasus-kasus di atas. Maksud kata tersebut mudah dicerna, yaitu mengistirahatkan seseorang dari kegiatan atau kewajibannya. Ada banyak posisi jabatan yang akrab dengan kata ´non-´ ini. Tidak harus seorang Kapolri, Gubernur BI, atau bahkan Ketua DPR. Seorang Ketua RT pun bisa dinonaktifkan jika dinilai melanggar peraturan.

Kata ´nonaktif´ terbentuk dari kata ´aktif´ yang diberi awalan berupa ´non-´. Benar, dalam bahasa Inggris, misalnya, ´non´ itu dianggap sebagai prefiks (awalan), meski hanya dilekatkan pada sejumlah kata tertentu saja. Agar tidak mengganggu ketatabahasaan kita, maka penulis berpendapat sebaiknya ´non-´ ini jangan dulu diadopsi sebagai awalan. Sedangkan ´aktif´ sendiri memiliki makna ´giat´, namun sebagai kata keadaan, ´aktif´ kira-kira berarti ´masih bertugas´.

Sejauh ini, dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia mutakhir, penggalan ´non-´ juga sering dipadukan dengan kata benda, umpamanya ´nonfiksi´, ´nonkarier´, serta ´nonanggota´. Penambahan kata "non-" terhadap kata benda bersifat mengingkari atau sepadan dengan penambahan kata ´bukan´ kepada kata-kata yang sama (bukan fiksi, bukan karier, dan bukan anggota). Terhadap kata sifat atau kata keadaan, penambahan ´non-´ setara dengan penggunaan kata ´tidak´. Kadang-kadang ´non-´ pun dapat berarti ´tanpa´, seperti terlihat pada kata ´nongelar´ dan ´nonkolesterol´.

Seandainya kita berlapang dada menerima kata ´nonaktif´, maka kaidah pengimbuhannya berlaku normal, sehingga akan lahir kata-kata seperti ´menonaktifkan´ atau ´dinonaktifkan´ atau ´penonaktifan´.

Penyerapan unsur ´non-´ ini dapat dipandang sebagai sikap yang positif selama kita mampu dengan bijaksana menempatkannya. Perlu diingat bahwa unsur ´non-´ hanya berterima jika dilekatkan kepada kata benda, kata sifat, atau kata keadaan. Hindarkan pelekatan pada kata kerja, sehingga tidak timbul ´nonmakan´, ´nonpukul´, dan ´nontulis´.

Sejatinya, bahasa Indonesia memiliki dua kata pengingkar: ´bukan´ (untuk mengingkari kata benda) dan ´tidak´ (untuk mengingkari kata kerja, kata sifat, dan kata keadaan). Kata ´tidak´ sesekali muncul dalam wujud tak atau tiada. Selain itu, dikenal pula unsur pengingkar yang lain, ´non-´ (yang telah kita bahas di atas) dan ´nir-´ (yang berasal dari bahasa Sansekerta).

Penerapan unsur pengingkar ´nir-´ dalam mekanisme negasi memang tidak sepopuler ´non-´, dan hanya dijumpai bertaut dengan beberapa kata, misal ´nirbau´ (odourless), ´nirkarat´ (stainless steel), atau ´nirlaba´ (nonprofit).

Karena merupakan morfem terikat morfologis, maka cara menulis kata yang mengandung unsur ´non-´ atau ´nir-´ seyogyanya bersatu dengan kata dasarnya. Toh, tidak ada salahnya sesekali kita menuliskan kata-kata tersebut dengan perantaraan tanda sambung ("-") untuk mempertegas bentuk kata-kata tersebut. Apalagi mengingat kata-kata itu memang agak jarang dipakai, sehingga tidak akan terlalu mengganggu.

Silakan saja jika ada satu-dua kata asing yang mengandung unsur pengingkar akan kita ambil begitu saja sebagai kata Indonesia. Kata ´nonstop´ sudah sangat akrab dengan pertuturan kita, sehingga dapat dianggap sebagai kata serapan utuh begitu saja.

Bahan dikutip dari sumber:
Judul majalah : Intisari Edisi Januari 2004
Judul artikel : Non Sebagai Awalan? Nanti Dulu!
Penulis : Lie Charlie
Halaman : 160 - 161

Komentar