Kulihat Buku dari Ruang Tamu Hingga Toilet | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Kulihat Buku dari Ruang Tamu Hingga Toilet


Kategori: Artikel

Penulis: Nis Antari

Saya enggak mau dianggap ketinggalan!" begitu pengakuan Ferry Salim (37), aktor, presenter, dan duta Unicef ini saat ditanya alasannya kenapa begitu keranjingan membaca buku. Segala macam jenis bacaan dari berbagai bidang dia baca tanpa kecuali. Mode, kuliner, sastra, psikologi, teknologi, hingga politik dan ekonomi. Minimnya waktu luang bukan alasan bagi bapak dua anak ini untuk tidak mengikuti semua perkembangan lewat bacaan.

"Dasarnya saya memang suka membaca. Susah menghilangkan kebiasaan itu. Namun, kebiasaan itu makin menjadi-jadi ketika mendengar penilaian bahwa seorang artis metroseksual kadang dianggap gaptek (gagap teknologi). Karena itu informasi teknologi pun saya ikuti. Kini soal gadget-gadget terbaru saya tahu. Lama-kelamaan saya menikmatinya sebagai sebuah pengetahuan.

Betapa intens Ferry membaca bisa dilihat dari kenyataan bahwa rata-rata pria yang pernah mendalami fashion marketing di Seattle, AS, ini memerlukan waktu dua hari untuk melahap sebuah novel. "Ya disempet-sempetin. Setiap hari harus baca, walaupun hanya beberapa halaman," suami Merry Prakasa ini memberi kiat. Pria yang terlihat amat menikmati hobinya ini mengaku baru saja menyelesaikan buku Sidharta karya Hermann Hesse.

Nyempet-nyempetin baca ternyata dilakukan pula oleh presenter kocak Tamara Geraldine. Di tengah kesibukannya syuting ia selalu memelototi huruf-huruf yang bersemayam dalam buku. Hanya saja ia melihat situasi. Biasanya, ketika syuting ia membaca cerpen atau puisi yang pendek-pendek agar cepat selesai. Baru di dalam perjalanan ia bisa mencicil membaca dari jenis bacaan yang agak serius. Di mobil, di tas, atau di meja rumahnya selalu disiapkan minimal satu buku untuk menemaninya.

Mereka Yang Tersihir Buku

Di kalangan selebriti, tak hanya Ferry dan Tamara yang ke ranjingan membaca. Ada tiga serangkai Haque (Marissa, Soraya, Shahnaz), Helmy Yahya, Tamara Blezynski, Ahmad Dhani (pendiri grup band Dewa), Peggy Melati Sukma, atau si "Oneng" Rieke Diah Pitaloka, dan mungkin masih banyak lagi.

Melihat seabreg kesibukan mereka, sulit membayangkan sosok sibuk seperti itu masih memiliki waktu khusus untuk membaca di sela-sela kegiatan hariannya. Bayangkan, sejak bangun hingga kembali ke peraduan mereka dijejali kesibukan syuting iklan atau sinetron, menjadi presenter atau MC, menjadi pembicara seminar, hingga kegiatan tambahan lain seperti jadi duta ini-itu. Apalagi bagi yang sudah berkeluarga karena mereka harus juga memberi perhatian kepada orang-orang tercinta di rumah, istri/suami atau anak-anak. Menyita waktu tentu saja.

Barangkali betul kata para penggemar buku, untuk membaca buku tidak harus menunggu waktu luang, tapi mesti disediakan waktu untuk membacanya.

"Aib" jika Ketinggalan Berita

Dilihat dari sudut psikologi, membaca merupakan salah satu ruang tempat seseorang melakukan kegiatan yang paling dia sukai sebagai pribadi; dan di situ ia secara penuh memiliki dirinya. Ruang-ruang seperti ini sangat penting untuk memelihara keseimbangan fisik, mental, dan jiwa seseorang. Baik Tamara maupun Ferry memiliki ruang-ruang itu. Bahkan ruang dalam arti fisik. Ketika sedang membaca - dan juga menulis - Tamara tidak bisa diganggu.

"Ruang" itu dirasakan Ferry sebagai kebutuhan seperti halnya tidur dan bekerja. Tak heran jika ia selalu menyempatkan diri membaca sebelum tidur. "Rasanya terlalu cepat tidur kalau belum membaca. Selarut apa pun saya tidur, pasti buka buku dulu. Entah cuma lima atau 10 menit," aku Ferry yang tidak memaksa istrinya melakukan hal yang sama.

Tamara lebih ekstrem. Ia memisahkan "ruang" itu di ruangnya masing-masing. Tidur di kamar tidur, baca di kamar baca. Sampai-sampai suaminya, Thien Thin Pam, perlu menanyakan apakah Tamara mau pulang atau enggak. Pulang di sini bukan berarti Tamara suka ngelayap, namun maksudnya Tamara mau kembali ke kamar tidur mereka atau tidak. Pernah, suatu malam Tamara meninggalkan tempat tidur mereka, pergi ke ruang baca, lalu membaca dan tertidur sampai pagi.

Bagi Tamara membaca membuat pikirannya terus terasah. Pikiran yang macam-macam langsung hilang kalau ia sudah memegang buku. Semua konsentrasinya tercurah di sana. Karena itu, buku seperti sarana untuk datang dan pergi memasuki ruang di dalam dirinya.

Sedangkan bagi Ferry, ketinggalan berita sepertinya menjadi "aib" baginya. Inilah yang membuatnya memiliki kebiasaan baru: selalu membeli edisi perdana setiap penerbitan majalah. "Apalagi kalau lisensi dari luar. Saya ingin tahu perbandingannya, antara yang asli dengan yang beredar di Indonesia," ujar bapak yang termasuk rajin membeli buku-buku psikologi perkembangan dan pendidikan anak.

Dengan menjadi yang pertama tahu, Ferry merasa lebih mudah beradaptasi dengan rekan-rekannya. "Meski tidak menguasai sampai detail, minimal saya tahu kulitnya, ya sekitar 20 - 30%." Tentu sekadar tahu ini tidak dipraktikkan manakala ia ngemsi. Untuk yang satu ini, "Saya harus tahu dan menguasai materi. Bila enggak tahu product knowledge-nya, saya bisa buka internet. Paling tidak ada nilai tambah bahwa saya tahu."

Kenal dari Kecil

Kegemaran Ferry membaca memang sudah dibina sejak kecil tanpa adanya paksaan pihak lain. Dia akui, bacaan membuka cakrawala fantasinya. "Ketika membaca Peter Pan, saya juga merasa ikut terbang seperti dia. Berbeda ketika saya menonton filmnya, fantasi saya diarahkan sejak awal sesuai sutradara. Namun, dengan membaca fantasi tiap orang bisa berbeda-beda. Kita bisa bermain sendiri dengan fantasi masing-masing dan lebih detail," ujar penggemar karya- karya Enid Bylton, Mark Twain, dan Herge ini.

Agak berbeda dengan Tamara. Kegemaran membaca memang menjadi tradisi dalam keluarganya. Hal itu tak lepas dari dorongan ayahnya, agar ia membaca terutama buku yang bersifat ilmu pengetahuan. Alasannya, dengan membaca wawasan seseorang akan terbuka sehingga bisa nyambung bila berbicara dengan semua tipe orang, misalnya.

Kini pola menanamkan gemar membaca diterapkan oleh Ferry kepada dua buah hatinya, Brandon Nicholas Salim dan Brenda Nabila Salim. Oleh sebab itu, Ferry tidak pernah memberikan bukunya. "Kalau saya tidak sempat membacanya lagi, anak-anaklah yang meneruskannya!"

Lagi pula, "Hampir setiap buku berbeda (isinya). Suatu saat saya butuh, berarti sampai kapan pun buku itu akan berguna. Buku-buku fashion marketing saya, misalnya, kini dipakai istri saya yang punya butik. Kalau saya stag, biasanya saya buka-buka lagi buku yang lama untuk referensi. Apalagi saat ini saya mulai menulis (novel)," ungkap Ferry.

Koleksi buku Ferry mencapai sekitar 1.000 buah dari berbagai tema. Yang terbilang lengkap dalam koleksi Ferry adalah kumpulan sastra Melayu Tinghoa. "Pernah pada suatu masa, saya suka membaca sastra yang masih ditulis dengan ejaan lama. Huruf masih ditulis , ditulis , dan sebagainya," aku pria yang baru-baru ini menemani Clay Aiken, finalis American Idol, mengunjungi korban gempa dan tsunami di Aceh.

Buku-buku tadi sebagian besar diletakkan di sebuah lemari khusus di ruang kerjanya. Sisanya tersebar di beberapa sudut rumahnya, di ruang tamu, meja makan, kamar tidur, bahkan di WC. Alasannya, "Supaya mudah diraih. Duduk di meja makan, di dekatnya ada buku. Saya bisa makan sambil baca. Begitu juga di WC saya penuh dengan buku. Untuk orang yang waktu luangnya terbatas seperti saya, membaca jadi mengasyikkan. Saya merasa sudah membaca semuanya, lalu ketika ada waktu senggang, saya buka lagi, selalu ada yang tersisa. Kalaupun pernah dibaca, selalu ada lagi sesuatu yang baru untuk saya. Semakin saya membaca, semakin saya sadar bahwa banyak yang kita tidak tahu."

Di ruang tamu biasanya Ferry meletakkan table book semisal interior. Di meja makan buku-buku masakan, di kamar tidur buku-buku cerita ringan seperti humor, sementara di WC Ferry biasa meletakkan kamus. "Saya lagi suka buka kamus ekonomi dan kamus politik. Kadang ada istilah-istilah yang saya enggak ngerti," ujar Ferry.

Tidak Pernah Mengeluh

Seperti dituturkan kepada Kompas (18-12-2004), buku bagi Tamara ibarat sahabat. "Buku itu teman paling setia, tidak pernah mengeluh kalau aku pakai dan taruh sewaktu-waktu, dan selalu siap menghiburku. Kalau lagi enggak mood dihibur orang, buku merupakan tempat paling bagus menimba inspirasi," kata mantan penggemar karya-karya Agatha Christie ini. Begitu pentingnya arti buku bagi Tamara, tak jarang ia lebih sering ketinggalan ponsel daripada buku.

Sebagai sahabat, buku-buku akan menemani Tamara selama perjalanan yang memakan waktu lama, seperti tur ke tiga kota. Selama itu ia bisa menghabiskan tiga judul buku. Dengan pola baca bergantian, buku-buku itu habis dibaca bersamaan.

Ferry pun memperlakukan buku koleksinya bak sahabat yang penuh perhatian. Saking cintanya, Ferry selalu memberi sampul plastik pada bukunya. Setelah itu diberi stempel. Ia juga rajin membeli penanda buku, walaupun nyatanya ia lebih sering lupa menaruhnya di buku yang mana. Jadinya, ia lebih banyak menandai halaman buku yang sedang dia baca dengan melipat halaman atau menggunakan boarding pass.

Ketika masih sekolah, kegemarannya membaca tak membuat nilai-nilai Ferry bagus. Maklumlah, yang dia baca kebanyakan buku-buku dunia hiburan. "Bukan ilmu-ilmu eksakta," tutur pria penggemar cerita-cerita tentang bajak laut.

Ferry sepertinya tidak mengejar nilai akademis. Ketika remaja ia memilih bacaan mengenai sosok pahlawan dan buku-buku pengembangan pribadi. "Pokoknya, yang bisa membangkitkan semangat. Saat ke Beijing, saya membeli kisah perjalanan Kaisar Pu Yi yang semula sosok tersanjung menjadi orang biasa," ungkap pria yang suka memasak bersama istrinya ini.

Soal lama waktu yang dibutuhkan Ferry untuk menamatkan isi buku sangat tergantung pada jenis bacaan. Jika baca novel, butuh waktu singkat. Bahkan buku karangan Moamar Emka tentang kehidupan seks di Jakarta yang sempat meledak beberapa waktu lalu tidak sampai satu hari habis dia lahap, "Karena tidak perlu menggunakan daya pikir yang berat. Persentase otak yang digunakan kecil," Ferry memberi alasan.

Yang lebih lama ketika ia membaca Sam Po Khong-nya Remmy Sylado. "Saya betul-betul konsentrasi penuh saat membacanya karena nama-nama tokohnya sendiri susah diingat. Kadang saya balik lagi ke halaman sebelumnya. Kira-kira satu bulan baru saya bisa menamatkannya," ujar Ferry. Waktu lebih lama juga berlaku bagi buku-buku dalam bahasa Inggris karena tak semua kosa kata ia kuasai.

Lama atau cepat, berat atau ringan topiknya, membaca buku tetaplah bermanfaat. Enggak percaya, tanya saja sama Ferry Salim atau Tamara Geraldine ketika bertemu mereka, entah di mana.

Sumber : INTISARI - Mei 2005

Komentar