Dimensi Internasional Dunia Perbukuan | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Dimensi Internasional Dunia Perbukuan


Kategori: Artikel

Pengajian ini belum lengkap kalau tidak membahas bagaimana pengaruh lokal Indonesia pada pergaulan internasional. Kalau kita membaca kosakata Indonesia di dalam kamus politik internasional, maka salah satu kata yang dikenal oleh masyarakat politik internasional adalah kata "amok", "amuk", "mengamuk", di mana manusia Indonesia ketika mengalami stres berat mengungkapkan kondisi kejiwaan itu dengan tindak-tanduk ekstrem, tidak mampu mengontrol diri, lalu menimbulkan kerusakan di sekitar atau pembunuhan lawannya.

Mengamuk mengisyaratkan bagaimana orang Indonesia menyelesaikan masalah-masalah yang sulit dan sukar bukan dengan perundingan, dialog, komunikasi rasioanal, kritis, atau kultural, melainkan dengan tindakan kekerasan dan tindakan teror untuk menarik perhatian luas. Masyarakat internasional merasa tertarik dengan budaya demonstrasi perasaan dan kejiwaan itu, yang meminta lingkungan untuk memerhatikan protesnya dan menuntut perubahan bagi dirinya dengan dukungan lingkungan sosial. Lingkungan kolektif menjadi sumber utama mencari solusi dari masalah sosial antarindividu.

Kita harus mengakui bahwa masyarakat internasional menaruh minat yang besar kepada kehidupan kultural Indonesia. Kita mengenal komunitas peneliti dan ilmuwan yang bekerja di berbagai universitas, sekolah tinggi, dan lembaga penelitian internasional yang dinamakan Indonesianist, ahli-ahli tentang Indonesia. Dari komunitas Indonesianist muncul banyak karya ilmiah tentang Indonesia yang mereka tulis.

Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah karya-karya penulis lokal mana saja yang kini sudah menjadi gejala internasional? Berarti sudah menjadi milik pembaca dari bermacam-macam bahasa. Salah satu pengarang berskala internasional adalah dari dunia kesusastraan modern Indonesia, yang dulu pernah menjadi tentara militer, yang berurusan dengan perang kemerdekaan merebut pemerintahan sendiri dari pemerintahan penjajahan. Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu fenomena internasional dari dunia perbukuan, khususnya dari dunia sastra modern Indonesia. Karya-karya sastrawan modern itu kini sudah diterjemahkan di lebih dari tiga puluh bahasa. Sastra adalah simbol dari hati nurani bangsa Indonesia yang menggetarkan hati nurani umat manusia yang universal. Sastra adalah wujud nyata hati nurani sebuah masyarakat, juga ketika masyarakat sedang mengalami krisis nilai yang hebat. Penyebarluasan karya sastra dari sastrawan Indonesia modern melalui kesibukan penerjemahan dan pembacaan dari komunitas internasional merupakan sebuah gejala diplomasi kebudayaan dari masyarakat perbukuan lokal. Sastra yang menyebar ke seluruh dunia adalah kegiatan seni dari masyarakat perbukuan untuk mengiklankan hati nurani bangsa yang sedang tercabik dan penuh derita. Dunia ikut berdukacita. Sama seperti Douwes Dekker menulis buku "Multatuli" (Saya Banyak Menderita) pertengahan abad ke-19 di Belgia dan tersebar ke Eropa. Akhirnya, parlemen Belanda menggariskan Politik Etis untuk Indonesia sehingga melahirkan golongan cendekiawan Indonesia sampai sekarang ini.

Buku-buku dari Indonesia sekarang mencerminkan sebuah krisis kebudayaan. Dari kebudayaan berbasis agama, bahasa, kerja sehari-hari, bergeser ke kebudayaan hasil karya pengikut neoliberalisme dari dunia industri, di mana ilmu ekonomi, ilmu manajemen modern menjadi ilmu pokoknya yang baru.

Pada tahun 1950, ketika Sutan Takdir Alisjahbana merintis berdirinya Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), dia sudah menjadi penerbit (publisher) dengan perusahaan Dian Rakyat. Dia juga sudah menulis sebuah buku, yakni "Tatabahasa Baru Indonesia", jilid 1 dan 2 (1950).

Sastrawan sekaligus pengusaha buku itu merasakan adanya krisis kebudayaan yang berlangsung pada saat itu. Penerbit-penerbit yang berasal dari Belanda masih mendominasi dunia perbukuan dan dunia pendidikan serta pengajaran dari Depdiknas, sedangkan penerbit lokal belum banyak berbuat karena masih merintis perusahaan lokalnya. Ini contoh kasus di mana Sutan Takdir merasakan krisis kebudayaan itu, dikaitkan lagi dengan perubahan politik dan pemerintahan negara yang dipenuhi oleh pejabat-pejabat baru yang masih muda dan berpendidikan SLTA.

Dalam buku tersebut, dia menjelaskan mengapa terjadi krisis kebudayaan pada masa itu dan bagaimana mencari jalan keluar untuk menegakkan kebudayaan baru. Sebagai seorang pengarang, dia bertolak dari dunia bahasa untuk menjelaskan krisis multidimensi pada saat itu. Inilah catatan tentang akar dari krisis kebudayaan itu dan cara mengatasinya dari kegiatan kebahasaan.

"Sebab sesungguhnya tak ada alat manusia yang lebih jelas, lebih halus, lebih lengkap menjelmakan jiwa manusia dan bersama itu kebudayaan manusia daripada bahasa. Karena itulah krisis jiwa, krisis kebudayaan, malahan krisis masyarakat Indonesia sekarang ini paling jelas terjelma dalam krisis kebahasaannya. Dan krisis bahasa itu paling jelas dalam krisis kata-katanya, yang tak lain dan tak bukan adalah semata-mata penjelmaan daripada pengertian-pengertian yang ada pada bahasa dan bangsa Indonesia." (STA, hlm. 90)

Dengan penjelasan itu, maka buku-buku sastra yang menarik perhatian internasional dari Indonesia bukan saja mencerminkan suara hati nurani, melainkan juga krisis kemanusiaan Indonesia karena bahasa tidak boleh diolah menjadi logika untuk memberdayakan rasionalitasnya. Bila hati dan pemikiran tidak berinteraksi dengan baik, krisis kebudayaan terjadi. Polemik sekitar RUU Sisdiknas beberapa bulan di awal tahun 2003 menyingkap krisis kebudayaan di Indonesia, entah dari iman, takwa, dan agama, entah dari ketidakmampuan menggunakan bahasa sebagai sarana berpikir rasional dan logis sehingga akal mengalami proses pencerahan. Krisis kebudayaan berasal dari kebodohan masyarakat miskin.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul majalah : MATABACA, Vol. 2/No. 1/September 2003
Judul artikel : Dimensi Internasional Dunia Perbukuan
Penulis : Frans M. Parera
Pencetak : PT Gramedia, Jakarta 2003
Halaman : 8-9

Komentar