Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional


Kategori: Resensi Buku Cetak, Pelayanan Anak

Judul asli : --
Penulis : Dedy Pradipto
Penerjemah : --
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Ukuran buku : --
Tebal : --
Sumber : Pub. e-Buku edisi 44/2009

Mungkin pembaca akan mengira jika buku berjudul "Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional" adalah buku yang menjabarkan tentang konsep belajar sejati berhadapan dengan kurikulum nasional yang beberapa kali mengalami perubahan. Dilihat dari judul dan desain sampulnya yang akrobatik memang mengesankan demikian. Sebuah perlawanan terhadap kemapanan dunia pendidikan. Namun, buku karya Yosef Dedy Pradipto ini mengulas lebih dari itu.

Gagasan tentang belajar sejati dan suasana hati yang merdeka dalam pendidikan dasar, yang muncul dari proses panjang dalam perjalanan hidup Yusuf Bilyarta Mangun Wijaya, atau yang akrab dipanggil Romo Mangun, menjadi tema utama buku ini. Ide-ide pendidikan Romo Mangun yang kemudian dilembagakan menjadi Dinamika Edukasi Dasar inilah yang kemudian diserap Dedy Pradipto. Konsep pendidikan Romo Mangun itulah yang diangkat Dedy dalam disertasi doktoral di jurusan Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Karya ilmiah ini yang kemudian dibukukan Penerbit Kanisius Yogyakarta. Romo Mudji Sutrisno, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dalam kata pengantarnya, mengatakan merasa sangat terkesan pada kepedulian Dedy untuk menghidupkan visi pendidikan mendiang Romo Mangun. Berawal dari keprihatinan Romo Mangun terhadap kualitas perguruan tinggi. Banyak mahasiswa hanya main hafalan, ambil jalan pintas, berlogika rancu, dan membebek diktat, yang menurut Dedy, adalah hasil pembelajaran di SMA. Sedangkan kebiasaan menyontek, tidak eksploratif, dan tidak kritis kreatif adalah hasil pembelajaran di SMP. Maka, memperbaiki pendidikan di Indonesia harus dimulai dari sekolah dasar. Sebab yang harus dibenahi adalah persoalan yang mendasar, yakni alur jalan berpikir atau logikanya.

Melihat kenyataan kondisi pendidikan di negeri ini, yang harus dievaluasi adalah kurikulum di tingkat pendidikan dasar. Kurikulum 1975, 1984, dan 1994 dikritik karena memberikan terlalu banyak mata pelajaran dan materi kurikulum dianggap terlalu padat. Seturut dengan kurikulum nasional ini, maka proses belajar-mengajar, buku teks, dan ujian (Ebtanas) menjadi diseragamkan. Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika kurikulum nasional diterapkan di sekolah dengan kondisi yang tidak seragam di tiap-tiap daerah. Romo Mangun menilai bahwa kurikulum nasional hanya membuat anak menjadi robot. "Anak-anak hanya bisa menghafal, tetapi tidak bisa menerapkan ilmu. Pelajaran dianggap tidak sesuai dengan lingkungan tempat tinggal," kata Dedy, yang mendapatkan gelas master dari Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Agar anak tidak menjadi robot, ada baiknya guru meneladani konsep belajar dari Romo Mangun. Ide belajar sejati dan suasana hati yang merdeka adalah tahap seseorang punya kesadaran diri untuk memerhatikan, mempelajari, dan menekuni segala hal yang dialami sehari-hari. Belajar sejati terdorong oleh keyakinan dari dalam suasana hati yang merdeka. Murid hanya belajar apabila ia punya perhatian, merasa terlibat, dan melibatkan diri dalam materi belajarnya. Semua anak dari kodratnya dan dari dalam dirinya ingin tahu, ingin belajar mengembangkan diri. Murid adalah guru bagi dirinya sendiri (halaman 68).

Buku yang terdiri dari lima bab ini diharapkan bisa memberikan metode baru bagi para guru dalam mengembangkan pendidikan alternatif, menerobos kemacetan visi pendidikan. Buku ini mendapat pujian dari beberapa tokoh pendidikan, seperti H.A.R Tilaar, Achmad Fedyani Saifudin, Francis SSE Seda, Bedjo Sujanto, dan J Riberu. Sayangnya, editing buku ini terasa sangat kaku dan ilmiah, seolah tak beda dari tulisan disertasi.

Diambil dan diringkas dari:

Nama situs : Kanisius
Peresensi : Eva Rohilah
Alamat URL : http://www.kanisiusmedia.com/resensi_detail.php?idresensi=52

Komentar