Bacaan Secara Berjanjang | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Bacaan Secara Berjanjang


Kategori: Artikel

Oleh: Gola Gong

Kami mulai menetap di Banten pada 1965 sampai sekarang. Sejak 1970-an, ketika di Serang tak ada toko buku atau perpustakaan kota yang layak, kepada anak-anaknya, Bapak dan Emak memperkenalkan bacaan secara berjenjang. Majalah Bobo, Hai, Gadis, Femina, dan Intisari, menjadi bacaan kami sehari-hari.

Cerita-cerita seperti "Deni Manusia Ikan" di Bobo, "AradMaya" dan "Trigan" di Hai menjejali otakku. Komik strip "Petualangan Garth" di Kompas menyusupi darahku. Sementara surat kabar Kompas dan Suara Karya biasa kami baca sepulang sekolah sambil makan siang. Hampir setiap pulang sekolah, teras rumah kami selalu penuh dan ramai oleh anak-anak. Kakak perempuanku juga membawa teman-teman sekolahnya. Belum lagi keponakan Emak, yang ikut dengan kami, juga membawa teman-teman sekolahnya. Pokoknya, selalu ramai! Semua koleksi majalah, komik, dan novel "Pujangga Baru" menjadi menu sore hari. Bagiku, ini semacam bibit perpustakaan rumah (embrio "home library") di rumah. Jika diibaratkan sebuah bangunan, ini adalah peletakan batu pertama dalam pembentukan cara berpikirku, bahwa fungsi sosial manusia dalam hal berbagi sangatah penting. Ini realitas yang terjadi di sekelilingku dan sangat rasional.

Setiap pagi, aku selalu bersemangat pergi ke sekolah karena di kepalaku penuh dengan informasi-informasi terkini. Aku selalu menarik perhatian karena menjadi "pusat informasi berjalan". Kalau kata Ismail Marahimin dalam "Menulis Secara Populer" (Pustaka Jaya, 2001), bahwa seorang penulis seharusnya mempunyai citra yang mirip dengan apa yang dalam wawasan pendidikan "liberal" digambarkan sebagai "the well-rounded man", yaitu orang yang dimisalkan sebagai bola, "bulat"-nya sempurna, sehingga bisa menggelinding ke mana saja. Artinya, orang itu harus mengetahui serba sedikit mengenai apa saja di dunia ini. Ya, dengan banyak membaca, aku jadi tahu sedikit pada hal yang banyak. Aku kira, ini sebagai modal awal atau "bensin" sebelum aku menjadi penulis profesional. Aku sangat suka saat Marahimin beranalogi tentang budaya membaca ini. Dia mengibaratkan membaca itu seperti "tenaga dalam" yang dimiliki oleh para jagoan kungfu di film-film silat. Semakin tinggi tenaga dalamnya, semakin hebat ilmu yang dimiliki. Dia menulis, "Membaca adalah sarana utama menuju ke keterampilan menulis".

Di antara keempat saudaraku, ternyata aku yang paling gila membaca sekaligus mengkhayalkannya. Aku termasuk anak kecil yang sedikit tahu pada hal yang banyak. Terutama tentang dunia olahraga. Saat itu, aku paling senang membaca buku-buku olahraga seputar Olimpiade, Asian Games, Ganefo, dan PON (Pekan Olahraga Nasional). Buku-buku biografi singkat tentang jawara-jawara olahraga menjejali otakku. Aku ingat, Johny Wesmuller, peraih emas renang di Olimpiade (1960-an) yang menjadi pemeran film seri TV "Tarzan", merasuki jiwaku. Sampai-sampai aku sering bertingkah sepertinya. Apalagi saat Bapak membelikan kami televisi hitam-putih bekas, betapa kami seolah mempunyai "harta karun" di ruang tengah rumah kami yang kecil. Setiap seusai magrib, pintu depan dan jendela dibuka lebar-lebar. Tikar-tikar digelar. Orang-orang dari sekitar kompleks kampung Benggala dan rumah sakit datang menonton. Awalnya aku suka kesal karena kadang tak bisa menonton TV dengan santai dan harus berbagi tempat dengan orang-orang kampung di sekitar rumahku. Tapi, ketika Bapak menjelaskan, "Mereka juga punya hak sama seperti kita, dalam mendapatkan informasi dan hiburan. Kita hanya ketitipan televisi saja oleh Allah," aku jadi selalu belajar untuk bertenggang rasa dan berbagi. Itu ternyata terbawa terus sampai sekarang. Rumah Dunia adalah harta karun milik Allah, yang dititipkan padaku. Semua orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar jurnalistik, sastra, teater, dan seni rupa lewat aku.

Kami tinggal di "Kompleks Guru", berada di sisi selatan alun-alun, persis di pusat kebudayaan kota. Di jalan ini, selain ada kompleks guru, juga ada kompleks kejaksaan dan DPU (Departemen Pekerjaan Umum). Tempat itu sangat strategis dan jadi barometer kota Serang. Semua orang yang hendak ke pusat kota pasti melewati jalan itu. Jika tak lewat jalan ini, rasanya seperti baru makan tanpa rasa garam. Kurang afdol. Apalagi jika sore, saat aku remaja, para gadis tercantik di Serang pasti mewajibkan untuk melintasi jalan ini; memamerkan mode terbarunya! Hal ini aku rekam dengan pancaindraku, dan semuanya aku tumpahkan di novel serialku, "Balada Si Roy."

Jadi, jangan ragu-ragu memberikan anak-anak kita bacaan berjenjang. Jika perlu lakukan sedini mungkin, yaitu sejak mereka masih dalam kandungan. Percayalah, dengan membaca, anak-anak kita akan berpikiran maju. Gara-gara buku, majalah, dan koran, semua tentang klenik atau yang irasional mulai aku tinggalkan. Otakku terlalu penuh dan disibukkan dengan khayalan yang tercipta dari budaya membaca dan menonton. Ada dunia baru yang lebih asyik jika aku datangi, ketimbang memikirkan hal-hal berbau klenik dan ilmu hitam.

Aku sering menciptakan film-film imajinasiku sendiri di dalam otakku. Itu aku buktikan dengan membuat sandiwara radio. Aku ingat betul, Bapak membeli radio tape. Radionya 2-band. Barang baru itu jadi "harta karun" yang lain setelah televisi bekas kami. Aku pakai kaset sebuah grup band pop ternama untuk mewujudkan mimpiku; membuat sandiwara radio. Ceritanya tentang seorang anak, yang disia-siakan oleh orang tuanya. Aku menjadi narator, pengisi suara (dubber), sekaligus pengarah suara latar. Jika harus ada ketukan pintu, punggung tanganku tinggal aku ketuk-ketukan ke permukaan meja. Jika pintu reyot berbunyi, suara kendaraan, hujan, petir, mulut kecilku dengan lincah menirukan suara-suara itu. Bahkan piring, kaleng, sendok jadi peralatanku. Studioku, ya di kamar. Biasanya aku menyuruh semua orang untuk tidak berisik, jika aku sedang sibuk di "studio". Sandiwara radio ini aku sebarkan di kompleks rumahku. Kata Emak, jika sedang mengenang momen itu sekarang, "Banyak ibu-ibu yang nangis mendengarnya."

Saat SD, aku menjadi peserta pameran di porseni. Lukisan-lukisanku dipajang. Saat itu aku kelas 6, hendak kelulusan. Aku paling gemar melukis potret. Dengan pensil konte, aku melukis wajah para pahlawan. Aku merasakan, saat itu dunia seni sama sekali tidak populer. Idiom-idiom yang beredar di kalangan orang tua tentang cita-cita pada anak-anaknya adalah menjadi dokter, insinyur, masuk Akabri, sarjana hukum, dan ekonom. Seniman? Nggaklah yauw! Madesu -- masa depan suram! Di Serang hanya ada satu sanggar seni, yaitu Sanggar Badak. Kak Bedy adalah guru menggambarku. Tapi, aku kurang disiplin sebagai murid. Bagiku, bercerita lewat rangkaian kata lebih menantang daya khayalku ketimbang bermain warna dan garis.

Saat di SMP (1977-1979), aku membuat komik silat. Dengan cat air, aku gambar tokoh-tokoh silatku. Cerita dan dialognya aku juga yang bikin. Saat SMA (1980-1982), aku membuat majalah kumpulan cerpen (kumcer) seperti Anita Cemerlang, Aneka Yess, dan Annida sekarang. Cerpenisnya aku dan ilustratornya aku juga. Aku memakai nama "Aris HR" dan "Gino Fhikalqees" waktu itu. Beberapa puisiku sudah dimuat di majalah Hai. Majalah kumcer buatanku menyebar di sekolah SMAN 1 Serang. Kalau kaset sandiwara radio dan komik silatku tak terselamatkan, majalah kumcer ini masih ada di laci, halamannya robek-robek dan rapuh.

Hobiku yang menyimpang sebagai anak jurusan Paspal, kadang disikapi "miring" oleh para alumni. Pernah saat ada "try out" untuk masuk perguruan tinggi, aku disindir beberapa senior. "Anak Paspal, kok malah bikin puisi dan cerpen! Mestinya di laboratorium!" Aku tak begitu menggubris. Aku hanya bilang ke mereka, bahwa kelak aku akan termasuk di antara siswa yang sedikit itu, yang lolos diterima di perguruan tinggi negeri. Apa pun jurusan dan fakultasnya. Itu janjiku pada mereka, karena bagi orang-orang daerah dan tertinggal seperti Banten, diterima di perguruan tinggi negeri seperti melakukan lompatan status sosial yang mahatinggi! Akan masuk dalam peredaran perbincangan di kalangan ibu-ibu pejabat sampai tukang becak, bahwa "si anu" kuliah di ITB, si "on!" kuliah di UI, atau si "una" kuliah di Unpad! Maklum, Serang saat itu hanya kota seluas daun kelor. Hampir semua warga saling mengenal. Apalagi aku, yang termasuk warga berprestasi dan khas pula: bertangan satu!

Gola Gong, pengelola Rumah Dunia dan Creative RCTI

Diambil dan disunting dari:

Judul artikel : Bacaan Secara Berjenjang
Judul majalah : Matabaca, Juni 2005
Penulis : Gola Gong
Penerbit : Tidak dicantumkan
Halaman : 22--23 dan 30--31

Komentar