Baca Mulai dari Belakang | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Baca Mulai dari Belakang


Kategori: Artikel

Penulis : Dr. Andar Ismail

Membaca novel tentunya mulai dari depan atau dari awalnya. Demikian juga halnya dengan membaca biografi. Kita membaca biografi seseorang mulai dari kelahiran orang itu, lalu masa kecilnya, kemudian masa remajanya dan selanjutnya. Agak janggal kalau kita membaca novel atau riwayat hidup mulai dari belakang atau dari akhirnya.

Tetapi untuk membaca "riwayat hidup" Tuhan Yesus, kita perlu mulai dari belakang. Saya akan segera menjelaskan hal ini.

Janganlah Anda gusar kalau saya mulai dengan kalimat yang tampaknya seolah-olah menghujat atau meremehkan: peristiwa penjelmaan Allah dalam kelahiran Yesus sebenarnya tidak istimewa. Cerita kelahiran seperti itu banyak terdapat dalam budaya-budaya lain. Hampir tiap budaya tradisional mempunyai dongeng tentang Allah atau dewa yang turun ke dunia dan menjelma menjadi manusia. Ada cerita tentang dewa yang menjelma sebagai pertapa lanjut usia. Ada cerita tentang dewa yang menjelma menjadi seorang puteri yang cantik jelita. Ada pula cerita tentang dewa yang turun ke bumi sebagai seorang bayi mungil tersimpan dalam sebuah semangka.

Karena itu sebenarnya peristiwa kelahiran Tuhan Yesus tidak sangat istimewa. Seandainya kisah tentang kelahiran Yesus berhenti sampai di situ tanpa kelanjutan apa-apa; apakah sekarang kita menjadi murid dan pengikut-Nya? Agaknya tidak, sebab masakan kita menjadi murid dan pengikut seorang bayi?

Kita baru mulai tersentak untuk mengikut Yesus ketika sudah membaca berita tentang kenaikan-Nya ke surga menyusul kebangkitan-Nya dari kematian di kayu salib. Hati kita baru terperangah ketika sudah membaca tentang gaya hidup-Nya yang sungguh lain daripada yang lain. Jiwa kita baru tersentuh ketika sudah membaca pengajaran-Nya yang sungguh unik.

Jadi, keistimewaan kelahiran Yesus baru dapat dimengerti setelah kita membaca bagian tengah dan bagian akhir dari "riwayat hidup" Yesus. Kitab-kitab Injil menjadi lebih jelas kalau kita membacanya "mulai dari belakang", yaitu mulai dari kebangkitan Yesus. Kita menjadi orang percaya bukan karena kelahiran Yesus, melainkan karena kematian dan kebangkitan-Nya. Kelahiran Yesus belum memberi dampak apa-apa kepada iman kita. Dampak itu baru muncul dari hidup dan pengajaran-Nya. Sebab itu Natal tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari Paskah.

Seandainya para rasul hadir di kandang Betlehem pada waktu kelahiran Yesus, mungkin mereka pun tidak dapat memberi kesaksian apa-apa. Orang yang menjadi saksi mata kelahiran Yesus belum bisa mengerti bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Ketika para gembala datang ke kandang dan menceritakan bahwa menurut malaikat bayi ini adalah Juruselamat (lihat Luk 2:11-12); maka "semua orang yang mendengarkannya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu" (ay. 18). Baru sekitar lima puluh tahun kemudian, seorang rasul secara eksplisit bisa bersaksi bahwa bayi di palungan itu adalah Anak Allah dan Penebus: "Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka ..." (Gal. 4:4-5)

Untunglah kelahiran Yesus disusul dengan masa dewasa-Nya di mana Ia mengajar, sebab kita percaya bukan kepada seorang bayi melainkan kepada seorang rabi yang mengajarkan dan meneladankan sebuah gaya hidup yang unik. Untunglah kelahiran Yesus disusul dengan kematian- Nya di salib sebab kita diselamatkan bukan oleh seorang bayi melainkan oleh Juruselamat yang memberi diri-Nya sendiri. Untunglah kelahiran Yesus disusul dengan kebangkitan dan kenaikan-Nya sebab kita berdoa bukan kepada bayi Yesus melainkan kepada Tuhan Yesus yang "duduk di sebelah kanan Allah" (rumus Pengakuan Iman Rasuli, tahun 540).

Sebab itu Natal baru mempunyai arti kalau dilihat dari bagian akhir hidup Yesus. Kita baru bisa memahami kedalaman arti Natal kalau kita memahami karya Yesus sepanjang hidup-Nya yang mencapai klimaks ketika Ia dibangkitkan Allah dari kematian sebagai tanda bahwa Allah mengabsahkan segala karya hidup-Nya. Kesaksian kita kepada masyarakat bukanlah tentang seorang bayi mungil melainkan tentang seorang pria berusia 33 tahun yang memberi keseluruhan diri-Nya sampai mati di atas kayu salib. Pusat pemberitaan gereja bukanlah inkarnasi Yesus (Allah menjadi manusia) melainkan diri dan misi Yesus selama 33 tahun di bumi. Tanpa karya hidup Yesus maka peristiwa inkarnasi di Betlehem tidak ada artinya. Di sinilah letak perbedaan antara Injil dengan segala cerita-cerita mengenai inkarnasi para dewa yang lazim dikenal di budaya-budaya tradisional.

Oleh karena karya hidup Yesus itulah, sekarang kita tahu mengapa kita merayakan Natal. Kita merayakan lahirnya seseorang yang 33 tahun kemudian memberi pegangan hidup, bahkan makna hidup, kepada umat manusia.

Perayaan Natal menjadi lebih berarti karena kita tahu bahwa bayi yang kita sambut ini tidak terus menerus berada di palungan Betlehem, melainkan bertumbuh menjadi guru yang mengajar di tepi sungai Yordan dan kemudian dipaksa berjalan terbungkuk-bungkuk memikul salib menaiki tangga kota Yerusalem, tetapi kemudian bangkit kembali dan berdiri dengan tegap di bukit Galilea serta bersabda, "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat. 28:18-20).

Seandainya kisah kelahiran Yesus adalah ibarat bab pertama dari cerita bersambung, maka bab pertama ini baru menjadi jelas duduk perkaranya kalau kita sudah membaca bab terakhirnya. Kita jadi melihat bahwa Natal sungguh patut dirayakan. Kita jadi tahu apa sebabnya kita merasa berbahagia pada hari Natal. Kita jadi mantap dan berucap, "Selamat Natal!"

Sumber : pub. e-Buku edisi 02

Komentar